JAKARTA, infodesaku.com – Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT) RI, Abdul Halim Iskandar membawakan orasi ilmiah dalam proses penerimaan mahasiswa baru Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo secara virtual, Senin (02/08/2021) bertema “Mahasiswa Zaman Now: Berdaya Saing Tinggi, Aktif Membangun Desa dan Kontra Radikalisme”.
Dalam kesempatan itu, Menteri Halim sempat mengutip data dari Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT), yang menyatakan terdapat 2,7 juta orang Indonesia terlibat dalam serangkaian serangan teror.
Jumlah tersebut setara dengan sekitar 1 persen dari total penduduk Indonesia. Sedangkan orang-orang yang terindikasi berafiliasi dengan ISIS, jumlahnya mencapai 0,004 persen atau sekitar 1.000 orang.
“Data estimasi BNPT, ada sekitar 10-12 jaringan inti teroris yang saat ini berkembang di Indonesia,” kata Halim, seperti dilansir dari dari Portal Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi, Selasa (03/08/2021).
Jaringan inti tersebut, kata Halim, kemudian membentuk jaringan sel-sel yang lebih kecil dan lebih banyak lagi. Dan jaringan teroris tersebut sudah menyebar ke seluruh wilayah Indonesia. Bahkan sampai ke pelosok-pelosok daerah, tidak terkecuali di Jawa Tengah.
Yang memprihatinkan, kata Halim lagi, jaringan-jaringan radikalisme atau bahkan terorisme tersebut diindikasikan tumbuh subur di kampus-kampus. Artinya, perguruan tinggi yang seharusnya menjadi tempat bersemainya rasionalitas, kewarasan nalar, tumbuhnya humanisme dan prinsip-prinsip universalitas HAM, ternyata tidak imun dari praktik-praktik kontra humanisme dan tuna moral semacam terorisme.
Bahkan yang lebih memprihatinkan, jaringan radikalisme di kampus tidak hanya tumbuh subur di kalangan mahasiswa, melainkan juga di level dosen maupun karyawan (tenaga pendidik).
“Saya berharap kampus, khususnya UIN Walisongo, dapat menjadi benteng Pancasila dengan menyusun skema kebijakan yang dapat mereduksi perkembangan radikalisme di tingkatan mahasiswa atau dosen,” katanya.
Sebelumnya, ia juga menyatakan, dalam kajian berbagai lembaga yang concern pada isu radikalisme, Indonesia masih ditempatkan sebagai negara yang rawan menjadi tempat berseminya benih-benih gerakan radikalisme.
Merujuk indeks kerentanan radikalisme, Indonesia masih di level 43,6 atau masih di titik rawan, yaitu pada level 33,3 dari skala 0 (anti-radikalisme sempurna) dan 100 (pro-radikalisme sempurna). Bahkan Indonesia bersama Philipina sudah mendapatkan sebutan sebagai “the fore front of al-Qaeda in the Southeast Asia”.
Pria yang akrab disapa Gus Halim ini, menangkap kesan kuat UIN Walisongo juga menaruh concern terhadap isu tersebut. Olehnya, ia pun yakin adanya komitmen kuat dari segenap civitas akademika untuk bersinergi memberantas mata rantai penyebaran radikalisme di kampus.
Ia membeberkan, penuturan berbagai sumber, infiltrasi gerakan-gerakan radikalisme tidak banyak berkembang di UIN Walisongo. Indikasi lainnya adalah, nama UIN Walisongo tidak masuk dalam list yang dibuat oleh BNPT dan Setara Institute mengenai daftar kampus-kampus di Indonesia yang terpapar kuat gerakan radikalisme.
Jika merujuk pada data tahun 2018, BNPT merilis ada tujuh kampus di Indonesia yang terinfeksi parah virus radikalisme. Setahun kemudian, Setara Institute merilis ada sepuluh kampus di Indonesia yang diindikasikan terjangkit paham radikalisme dalam skala yang tergolong berbahaya. Dan tidak ada nama UIN Walisongo dalam kedua rilis tersebut.
“Bagi saya, fakta tersebut juga bisa disebut sebagai credit point atas pencapaian UIN Walisongo dalam menebarkan paham Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah yang toleran, moderat dan rahmatan lil alamin,” kata Gus Halim. (FikA)